Selasa, 24 Juni 2014

Sepotong Kisah Tentang Senja, Laut dan Pria Itu.

Senja sore itu sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja. Gurat-gurat oranyenya mulai berbaur bersama langit yang mulai berubah biru pekat hampir gelap, tidak meninggalkan kesan perpisahan sama sekali. Malahan, oranyenya menimbulkan kesan hangat; seperti pelukan; pelukan seorang kekasih yang sudah lama tidak berjumpa. Gurat-gurat itu kemudian mulai tertelan bersama matahari yang masuk ke peraduan di ufuk barat sana, menyisakan sedikit garis jingga yang malu-malu. Dan hilang. Kini yang ada hanyalah binar-binar kecil yang berpendar menemani pekat, sungguh indah.
Gadis itu melirik arlojinya, hembusan angin malam begitu menggigit, padahal dia sudah memakai jaket tebal serta syal merah muda yang dia rajut sendiri. Tapi itu saja tidak cukup, angin sialan itu seperti menusuk tulang-tulangnya, membuatnya ngilu sehingga mau tidak mau dia harus meninggalkan latar kesukaannya. Sebuah kursi kayu panjang yang dicat putih pucat. Kursi itu langsung menghadap kelaut, memberikan visual biru tua bercampur aqua yang membentang tanpa batas, pun kontras dengan pasir putihnya yang lembut. Dan yang paling gadis itu sukai adalah ketika dia bisa menikmati sisa sorenya, duduk dikursi itu menghadap laut sambil melihat senja yang meninggalkan warna-warna indahnya lalu berubah temaram. Gadis itu merapikan jaketnya, memutuskan untuk pulang.
Bagian belakang rumahnya memang langsung mengarah kepada laut. Itu sebabnya dia mencintai laut. Ketika tidak ada seorang pun yang dapat diajaknya bercerita, maka dia berlari kepada laut. Dia juga mencintai suara ombak yang bersahutan bergantian ditemani siulan-siulan pelan yang berasal dari kerang, yang teronggok begitu saja dipinggir pantai. Dia berdiri pelan, rasanya seperti enggan untuk beranjak keluar dari duanianya yang damai bersama laut. Tapi dia harus, maka dia mulai berjalan menyusuri rumput-rumput liar yang tumbuh dipinggir jalan setapak yang akan mengantarkannya pulang.
Sebenarnya ada yang paling dia rindukan ketika duduk dikursi itu. Kenangan-kenangan yang tidak bisa dia buang begitu saja, dia lupakan begitu saja dan dia hilangkan begitu saja. Kenangan itu terlalu berharga, tentang seorang pria yang mencuri hatinya beberapa tahun lalu dan belum kembali untuk mengembalikannya lagi. Sehingga, sampai saat ini, dia merasa masih terkurung dalam penjara pria itu, tidak bisa bergerak bebas menemukan yang lain karena terhalang besi-besi dingin yang kuat. Dialah Senja.

- to be continue -

- No Title -

Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa
Percayalah padaku, aku pun rindu kamu.. Ku akan pulang
Melepas semua kerinduan yang terpendam

Ah, aku sudah merindu lagi ya? Bagaimana tidak, kekasih yang jauh disana pun merindukanku sama gilanya. Padahal, setiap hari kami menyempatkan untuk bertukar kabar dan mengucapkan sapa, tetapi rindu itu seperti tidak ada habisnya. Dan malah semakin bertambah setiap hari tanpa bosan.
Sebenarnya apa yang diinginkan oleh rindu?
Membunuh aku dan dia perlahan dalam keheningan tanpa jeda? Atau menginginkan aku dan dia mengemis pada waktu untuk berhenti, untuk bertemu sekali dan tidak menginginkan perpisahan lagi kemudian.
Tanpanya, seperti ada yang hilang. Tanpanya, seperti ruhku berlari terlebih dahulu padanya untuk menyampaikan rasa rindu lalu meninggalkan ragaku tanpa kasihan.
Begitu teganya rindu, membiarkan aku dan dia terjerat pada rasa yang tak berujung pertemuan. Menyisakan airmata yang turun bersama melodi-melodi pilu menusuk kalbu.
Malam menjadi saksi bisunya, betapa rindu telah menghancurkanku menjadi berkeping-keping dan lenyap bersama mimpi tentangnya.

Minggu, 22 Juni 2014

Aku tahu kita sama-sama merindu

Aku tahu kita sama-sama merindu. Seperti tidak pernah ada pertemuan, seperti waktu-waktu yang terlewat tanpa sepotong suara. Padahal, embun-embun pagi yang menyapa melalui tetesannya, senja dengan warna terbaiknya sebelum tenggelam pada langit, dan malam berbintang ataupun tidak, menjadi saksi bahwa disetiap waktu pada ruang dimensi yang lain kita selalu bertemu. Memeluk satu sama lain seakan tidak akan membiarkan untuk pergi lagi. Tidak rela untuk berpisah.

Aku tahu kita sama-sama merindu. Begitu yang aku sampaikan melalui bait-bait lagu romantis yang kudengarkan disetiap kesempatan. Dan, denganmu yang memberitahuku melalui kata-kata, menjanjikan sebuah masa depan yang indah. Sepertinya begitu saja sudah cukup bagi kita, tak masalah apabila raga yang tak bisa bertemu namun hati saling bertaut kasih.

Aku tahu kita sama-sama merindu. Seperti yang terdengar dari suara kita. Pilu.

Aku tahu kita sama-sama merindu. Maka kutitipkan sebuah 'I love you' kepada malam yang tak berpenghuni, untukmu yang setia menungguku hingga lelap, izinkanlah dia menyapa saat aku tak bisa menggapaimu dari jauh sini. Bila nanti sudah datang waktunya, maka rindu ini akan kubabat habis bersama pelukan dan ciuman kemudian. Aku mencintaimu, juga merindukanmu.

Jumat, 20 Juni 2014

Already miss you, Za..

Kenangan kita takkan ku lupa
Ketika kita masih bersama
Kita pernah menangis, kita pernah tertawa
Pernah bahagia bersama

Semua akan selalu kuingat
Semua akan selalu membekas
Kita pernah bersatu dalam satu cinta
Dan kini kita harus terpisah

Aku pergi

Hari ini lagi favorit banget sama lagunya Alika - Aku Pergi. Ngingetin ke Eza pas nganterin dia pindahan kemarin. Eza sempat nyanyi lagu ini...
Ceritanya lagi kangen sama Eza.. Kangen pas dulu jogging ke UGM bareng, panas-panasan di Sunmor, renang, jalan-jalan ke Malioboro, nongkrong di 0km, main ke Alkid, minum wedang ronde, begadang sampe pagi di depan Amplaz, hang-out ke tempat-tempat yang seru, makan-makan.. Ah, pokoknya semua momen bareng Eza..
Walaupun baru kenal Eza, belum lama ini, tapi entah kenapa Eza dengan gampangnya masuk dalam list best-friend-forever. By the way, nggak semuanya bisa masuk dalam zone yang aku buat ini. Aku nyaman main sama Eza, dia itu lucu, easy-going tapi susah banget dideskripsiin. Yang paling khas dan ngingetin Eza itu suara ketawanya, itu Eza banget hahahahaha..
Tapi sekarang udah nggak ada leadernya MICYIN yang paling c-u-t-e. Dia mutusin buat kuliah di Bandung, sekolah impiannya.. Yah, semoga aja itu pilihan terbaik buat Eza. Aku selalu doain semoga dia di Bandung jadi chef pastry yang hebat dan tobat *peace*
Ezaaa.. Sukses ya kuliahnya. Jangan masuk senin-kamis lagi. Janji ya sering main-main ke Jogja, nanti kita ke Malioboro lagi deh, hahahaha.. Masih banyak tempat yang belum kita kunjungin sama-sama, jadi harus janji bakal balik ke kota ini lagi. Oke?
Kangen kamu selalu, zaaaa..






Minggu, 15 Juni 2014

Happy Father's Day(。♥‿♥。)

Sekarang, hari Ayah, ya?
Mungkin telat, tapi Nji tulus mengucapkan 'Hari Ayah' untuk Mamiq. Mamiq bukan hanya sekedar sosok seorang Ayah yang menjadi tauladan di keluarga, tapi Mamiq juga bagaikan cahaya yang selalu menerangi keluarga kami. Beliau bekerja tanpa pamrih, semata-mata ingin membuat bahagia keluarganya. Tapi, dibalik semua itu, beliau juga memiliki rasa lelah dan sakit, tapi jarang sekali ditunjukkan kepada kami. Begitu mulianya seorang Ayah seperti beliau.
Mamiq, Nji berjanji akan selalu aamiin-kan doa-doa yang kau kirim untuk semesta. Pun, turut berdoa untuk segala kesehatan, umur panjang, rezeki serta keberkahan dalam keluarga. Semoga, apa yang kita lalui beberapa tahun ini menjadi kekuatan cinta dalam keluarga kita. Terima kasih telah menjadi seorang Ayah yang telah mendidik dan mengajarkan betapa tidak kekalnya dunia dan abadinya akhirat setelah akhir masa nanti. Terima kasih untuk cinta dan kasihnya. I love ya, Dad!

Selamat hari Ayah untuk Super Hero-ku tersayang, Mamiq c: Sayang selalu sama keluarganya, ya. Nji sayang Mamiq..

Sabtu, 14 Juni 2014

Mama, aku merindukanmu...

Mama, hari ini aku kangen banget sama Mama. Mama apa kabar, ya? Semoga Mama selalu baik-baik ya disana, tidak kurang suatu apapun.
Ma.. Nji boleh cerita? Pasti boleh, Mama kan selalu pengen tahu apa aja yang Nji lakukan setiap hari. Tanpa anggi minta pun Mama selalu bertanya, ya kan, Ma?
Semalem, Nji mimpi ketemu sama Mama, tapi Mama cuma senyum. Terus pas Nji coba mendekat, Mama malah jalan semakin jauh, Mama kenapa pergi? Mama udah nggak pengen ketemu Nji lagi, ya? Udah nggak kangen, ya?
Pas itu Nji cuma liat Mama senyum, senyum terindah Bidadari surganya Nji.. Mama cantik sekali. Tapi kenapa Nji malah sedih ya liat senyumnya Mama? Apa karena senyumnya Mama begitu indah, begitu cantik? Entahlah. Nji pengen peluk Mama, tapi Mama pergi begitu saja.

Ma, maaf ya beberapa hari ini Nji jarang hubungi Mama.. Nji sedang sibuk-sibuknya dengan tugas dan Casual di hotel. Mama, bisa ngerti, kan? Maaf juga karena selalu balas singkat pesan-pesannya Mama, jarang angkat telpon Mama.. Maaf.
Sebenarnya, Nji kangeeeen sekali sama Mama, kangennya udah nggak bisa ditampung saking banyaknya. Tapi, mungkin ied tahun ini, kita nggak ketemu. Mungkin liburan yang akan datang, Nji bakal pulang, dan janji bakal bawain apa yang Mama pengen. Nji tau Mama nggak pernah bilang sesuatu yang Mama pengenin, karena Mama tahu kalau anak-anaknya masih sekolah dan mungkin belum bisa mewujudkan itu. Maka dari itu, Mama jangan Marah ya kalau tahu Nji disini kerja. Nji pengen beliin apa yang Mama mau, tapi pakai uang Nji sendiri. Nji janji, bakal hemat-hemat belanja disini, supaya bisa beli lebih cepat. Semoga Mama suka ya hadiah pertama yang Nji beliin buat Mama dengan hasil keringat Nji sendiri, hehehehe..

Oh iya Ma, Mama masih ingat kan apa yang Nji janjiin dulu? Pas kita duduk berdua sambil minum teh di kursi pagi itu. Nji janji, suatu saat kalau Nji sudah kerja, sudah bisa hasilin uang yang banyak, kita bakal ke Makkah sama-sama, hehe. Setelah itu Nji pengen beliin Mama rumah yang besar, mobil yang bagus, jalan-jalan ke luar negeri, dan masih banyak yang lain lagi, iya nggak, Ma? Hehehe..
Makanya, Mama sehat terus ya, jangan sakit-sakit lagi. Nji nggak ada disana buat ngerawat Mama. Janji ya, Mama bakal sehat selalu? Nji selalu titip nama Mama ke Allah kok disetiap sujud dan doa malam. Nji bilang ke Allah, jaga Mamanya Nji selalu, letakkan Mama didalam dekap dan peluknya, dan sentuh selalu Mama dengan kasih sayang dan cahayanya. Semoga Allah kabulkan ya, Ma.. Supaya Mama selalu ada disisinya Nji, sampai nanti sampai Nji bisa buat Mama bangga sama apa yang sudah Nji raih.

Nji, sayang Mama.. Cinta Mama.. Rindu Mama..
Semoga Mama tau ya..

Dari putrimu, yang sedang menitikkan air mata karena merindu pada Bidadari syurganya yang cantik. I love you...

Minggu, 08 Juni 2014

Dia Datang

 Dia datang. Dia ada disini. Menatapku haru. Apakah kerinduan memang separah itu?
“Kau datang?” Akhirnya kata-kata yang sedari tadi tertahan ditenggorokan, keluar bersama kelegaanku setelah melihatnya. Hari ini dia benar datang, memakai kemeja kotak-kotak, celana jeans hitam serta tas ransel yang selalu dibawanya kemana-mana. Tidak ada yang berubah, ah, atau mungkin dia belum ingin berubah. Penampilannya, maksudku. Ya, dia selalu dengan penampilannya yang seperti itu. Aku terlalu menghafalnya. Priaku.
“Iya, aku datang,” ucapnya pelan, sepelan langkahnya yang berjalan kearahku. Hingga saatnya dia telah berdiri dihadapanku, “maaf aku terlambat.” Kata-kata yang selalu kuanggap sepele pada awalnya, tapi saat ini aku bersyukur. Dia datang, walau terlambat sekali pun.
Priaku. Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu? Melihat wajahmu rasa-rasanya seperti mendapatkan hadiah yang tidak pernah aku bayangkan. Sebodoh itukah aku dulu yang terlampau melewatkanmu? Begitu saja lari dan pergi bersama arah angin menuju tempat yang tidak kuketahui.
“Hei, kenapa dengan wajah itu. Sangat merindukanku, eh?” Dia tersenyum, salah satu favoritku dari semua yang ia miliki. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipiku, “Silahkan untuk merindukanku sepuas yang kau mau, tetapi untuk saat ini, aku ada disini. Bersamamu. Tidakkah kau ingin memelukku untuk menghilangkan segala rasa rindu itu, dan membuat rasa rindu lagi untuk pertemuan kita berikutnya?” Dia kemudian merentangkan kedua tangan, membiarkanku menghambur lari untuk memeluknya.
            “Jangan pergi lagi, ya?” ucapku sambil terisak, membiarkan air mata yang sudah tidak bisa kutahan lagi, mengalir deras dipipi. Mungkin membasahi kemejanya, tapi dia sepertinya tidak peduli dengan hal itu. Dia memelukku. Aku merindukannya.
            “Aku janji. Kau adalah kebahagiaanku, jadi tidak ada alasan lagi untuk aku pergi meninggalkanmu,” katanya sambil mengeratkan pelukannya padaku. “ Jadi maukah kau juga menjanjikan aku satu hal? Untuk selalu disini, bersamaku, karena aku mencintaimu.”
            Dan untuk waktu yang tersisa, kami berpelukan begitu eratnya. Menghabiskan suasana senja sore itu. Bersama debur ombak yang berlagu.

Sabtu, 07 Juni 2014

sendiri kurasa lebih baik.

Sendiri kurasa lebih baik. Tidak dengan dia, mereka atau siapapun itu.
Memang, banyak yang peduli, tapi yang pura-pura peduli tidak terhitung banyaknya. Aku sudah pernah merasakannya, dan sendiri memang lebih baik. Sendiri, aku bebas melakukan apa yang aku, tidak perlu memiliki batasan tentang apa yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Sendiri aku dengan sepuasnya memiliki ruang yang lebih lebar, tidak perlu berbagi. Sendiri aku bisa merasakan ketulusan, tidak ada kemunafikan dan tidak ada yang dibuat-buat.
Seperti mereka yang berpura-pura peduli, tetapi pada kenyataannya meremehkan. Datang kepadaku sesuka hati, lalu pergi dengan tidak membawa hati.
Atau.. Mereka yang berbicara manis didepanku tapi dibelakang menyimpan sejuta kebusukan, ah betapa manisnya mereka! Seolah-olah berwujud malaikat padahal tidak lebih dari seorang pecundang! Itu kalian!
Kalian tahu, sebenarnya kalian tidak perlu menyibukkan diri untuk menjadi manusia yang paling baik didepanku. Bertingkah seolah tidak ingin membuat dosa sekecil debu sekalipun. Hei, tipeku adalah yang dengan mudah menebak kebohongan orang lain, jadi mulai sekarang, kalian pergi saja, aku sudah tidak ingin menahan-nahan apa yang tidak ingin aku pertahankan.Terutama yang memiliki seribu kata umpatan buatku, silahkan kalian berbicara langsung dihadapanku. Aku sudah muak melihat kalian menyimpannya dalam bentuk seulas senyum inosen. Aku tidak butuh itu, benar-benar tidak membutuhkannya.

Jumat, 06 Juni 2014

Home

Kepada yang menganggap rumah sebagai tempat terbaik untuk kembali, aku ingin bertanya satu hal: Pernahkah kau merasa bahwa rumah adalah tempat terburuk untuk kembali setelah kau meninggalkannya begitu lama? Jika iya, kita sama. Kini, aku merasakannya.
Dulu, aku selalu menganggap rumah adalah yang paling tepat untukku melepaskan segala rasa rindu dengan orang tersayang, menghilangkan segala kepenatan setelah lelah yang begitu panjang, dan berkumpul kembali untuk sekedar bertukar kisah masing-masing. Namun, kini, aku rasa rumah bukan lah tempat seperti itu lagi. Rumahku bukan rumahku. Segala sesuatunya sudah berbeda. Dimana cinta? Dimana kasih sayang? Dimana rasa rindu? Rasa-rasanya, seperti tempat asing yang sudah tidak aku kenali lagi suasananya.
Aku merindukan rumahku. Aku merindukan orang tuaku. Aku merindukan adikku. Kembalilah seperti yang dulu. Aku rindu.


Rabu, 04 Juni 2014

Mengingatmu

Untuk satu hari ini, bolehkah aku menjadi egois?

Bohong jika pernah kukatakan bahwa aku tidak ingin mengingat masa lalu. Kenyataan yang paling pahit adalah kau pernah meninggalkanku demi dia, disaat aku menangis, meminta dan meronta untuk kau tetap berada di sisiku.
Tapi yang kau lakukan? Dengan gampangnya, kau pergi. Meninggalkanku yang rapuh ini sendiri ditengah gelapnya hati. Cahayaku telah pergi.
Aku menyadari bahwa dulu aku pernah salah. Aku terlalu egois untuk mementingkan hatiku, dan tidak hatimu. Kau tahu? Aku pun merasakan apa yang kau rasakan. Aku menyesal telah pergi. Dan aku menyesal karena telah meninggalkanmu. Tapi setelah itu, tak pernah kuizinkan satu pria mana pun mengisi tempatmu dihatiku, karena kaulah pemilik yang seutuhnya. Aku pun merasa menang, karena aku bisa melewatkan mereka begitu saja dan masih tetap memilihmu.

Berbulan-bulan setelahnya, aku merasa kehilangan. Kehilangan cinta, perhatian, dan kasih sayang. Seperti bilah pisau yang menusuk jantungku, aku mati. Kembali aku mencoba menghubungimu, kurasa setelah apa yang aku perbuat aku menyadari bahwa cintaku padamu adalah yang paling benar. Aku mencintaimu, benar-benar mencintaimu. Dan, kita berhubungan kembali, walaupun itu hanya sekedar teman biasa. Aku mencoba untuk mengungkapkan kembali perasaanku, mengatakan padamu bahwa saat itu aku menyesal telah melepasmu pergi dan saat ini aku ingin kembali. Aku pun bertanya, apakah saat ini kau telah memiliki orang lain atau tidak. Lalu kau menjawab, bahwa ada yang sedang dekat denganmu, dan hatimu untukku yang dulu telah diisi setengahnya oleh orang lain itu.

Bisakah aku menjadi pemenang jika aku berusaha bertahan pada titik ini?

Ataukah aku harus menjadi yang kalah bahkan sebelum aku mencoba untuk melawan?

Aku tidak pernah meminta untuk kau langsung membalas perasaanku, hanya saja kau harus bisa jujur dengan hatimu. Mana yang kau pilih, aku atau orang lain itu? Karena yang kau katakan adalah, hatimu telah terbagi untuk aku dan untuk dia.
Kau tidak menjawab. Dan bodohnya, aku tetap mencoba untuk menjadi pemenangnya.

Lalu kenyataan pahit itu datang, bertubi-tubi menamparku hingga tersungkur. Kemudian tanpa ampun menyerang hatiku yang sedikit lagi akan hancur. Kau memilihnya, tanpa pernah memberitahuku. Kau memilihnya, setelah kau lambungkan hatiku ke nirwana sana.

Aku menjauh. Seperti matahari yang perlahan meninggalkan ufuk timur untuk tenggelam di ufuk barat.

Aku menghilang. Seperti guratan senja yang akan tertelan oleh gelapnya langit malam.

Aku pergi, membawa hatiku kembali. Dengan senyum, jika tuhan menghendaki. Biarlah kisah ini bersamaku, hingga aku bisa merasakan manis kembali di kehidupanku yang nanti.





Senin, 02 Juni 2014

EDELWEIS

Mengapa Edelweis? Karena menurut kisah yang pernah aku dengar, Edelweis adalah bunga keabadian. Bunga yang sampai bertahun-tahun pun masih akan tetap hidup, tidak mati, gugur atau layu. Aku ingin kita juga bisa seperti itu, jadi kupersembahkan Edelweis ini untukmu, sayangku...


Aku sadar, aku tidak sempurna, pun penuh kekurangan. Aku juga sadar bahwa aku bukanlah seorang Malaikat, yang selama hidupnya dilakukan untuk kebaikan, tidak pernah salah dan selalu benar. Aku hanyalah seorang biasa, kau tahu.

Hari ini, lebih parah dari hari biasanya. Kami bertengkar, dan seperti biasa, dari hal sepele yang dibesar-besarkan. Mungkin aku yang memulai. Atau, mungkin saja, kita berdua yang sama-sama keras kepala. Entahlah.
Dia berteriak, untuk pertama kalinya. Hatiku rasanya sakit, seperti dihujam ribuan jarum tajam tanpa ampun lalu melekat disana, bisa kau bayangkan rasa sakitnya? Seperti itu pendeskripsianku. Sakit sekali, sampai aku tak sadar air mataku tumpah, membasahi tubuh boneka Hello Kitty yang kupeluk erat didada. Membayangkan dia memelukku, berusaha menutup luka-luka yang menganga lebar disana. Dan ketika aku berusaha menghapusnya, dia masih saja tetap berteriak. Kenyataan menghampiriku, dia bukanlah dia.
Entah bermenit-menit kami bicara, dia mulai menurunkan suaranya. Menjadi seperti biasa yang aku kenal, tapi nadanya tetap seperti orang asing yang baru kutemui hari ini. Jadi beginikah dia ketika marah? Berubah menjadi seorang yang tidak aku kenal sama sekali. Berubah menjadi monster yang siap-siap menerkam kalau-kalau aku salah mengambil langkah untuk menyelamatkan diri sekali lagi.
Aku salah, ya aku tahu. Aku bodoh, ya, aku juga tahu. Aku idiot, aku sangat tahu. Kata-kata itu meluncur begitu saja, seperti terasa licin ketika terucap dari bibirnya. Sayangku, seperti itukah aku pada kenyataannya? Selalu membuat kesalahan, tanpa pernah sekali menjadi orang pertama yang menghubungimu untuk menyelesaikannya. Seharusnya, jika kau memahamiku, kau juga mengerti, kan, bagaimana sifatku?
Dan untuk kesekian kalinya, maafkan aku.
Lalu, sayang, aku ingin bertanya padamu suatu hal? 
Sayang, bagaimanakah rasa cinta itu dihatimu kini? Bisakah kau menjelaskannya?
Sayang, kalau-kalau aku selalu membuatmu lelah, apa salah jika aku meminta kau melepaskanku?
Karena sepertinya, konsep cinta abadi yang pernah kita buat, telah terkikis oleh bengisnya jarak. Perlahan mulai menggerogoti cinta kita yang masih rapuh ini. Aku takut, takut sekali, kalau-kalau rapuh berubah menjadi tidak berdaya. Lalu bagaimanakah kita jika cinta itu sudah tidak berdaya?
Berpisah? Menjalani hidup masing-masing? Mewujudkan impian-impian masa depan kita sendiri-sendiri? 
Aku sakit, sayang. Tahukah kau tentang hal itu?
Mungkin kau juga, tapi siapa yang tahu seseorang yang akan datang menjadi penyembuh hatimu. Membayangkan ini saja membuat perutku mual, kau bersama orang lain.

Lalu, sayang, bagaimana ceritanya hubungan ini? Hubungan kita?
Masihkah kau inginkan dia untuk bertahan, kala jarak perlahan-lahan membuatnya pudar. Kala waktu perlahan-lahan membuatnya tidak tersisa. Dan kala ketidakpercayaan mulai membuatnya hilang. Masihkah kau menginginkannya, hm?

Maka dari itu, kukirimi kau sebuah Edelweis, sebagai bunga keabadian yang kuharapkan dapat menjadi penjaga hatimu agar selalu tetap untukku. Juga, sebagai bunga keabadian kita, yang semoga dapat bertahan hingga tua, hingga kedamaian menjemput kita. Aamiin.

Seperti tulusnya keabadian Edelweis. Seperti susahnya meraih Edelweis. Seperti gumpalan bunganya yang terikat rapi menjadi satu. Seperti itu aku mencintaimu...