Mengapa Edelweis? Karena menurut kisah yang pernah aku dengar, Edelweis adalah bunga keabadian. Bunga yang sampai bertahun-tahun pun masih akan tetap hidup, tidak mati, gugur atau layu. Aku ingin kita juga bisa seperti itu, jadi kupersembahkan Edelweis ini untukmu, sayangku...
Aku sadar, aku tidak sempurna, pun penuh kekurangan. Aku juga sadar bahwa aku bukanlah seorang Malaikat, yang selama hidupnya dilakukan untuk kebaikan, tidak pernah salah dan selalu benar. Aku hanyalah seorang biasa, kau tahu.
Hari ini, lebih parah dari hari biasanya. Kami bertengkar, dan seperti biasa, dari hal sepele yang dibesar-besarkan. Mungkin aku yang memulai. Atau, mungkin saja, kita berdua yang sama-sama keras kepala. Entahlah.
Dia berteriak, untuk pertama kalinya. Hatiku rasanya sakit, seperti dihujam ribuan jarum tajam tanpa ampun lalu melekat disana, bisa kau bayangkan rasa sakitnya? Seperti itu pendeskripsianku. Sakit sekali, sampai aku tak sadar air mataku tumpah, membasahi tubuh boneka Hello Kitty yang kupeluk erat didada. Membayangkan dia memelukku, berusaha menutup luka-luka yang menganga lebar disana. Dan ketika aku berusaha menghapusnya, dia masih saja tetap berteriak. Kenyataan menghampiriku, dia bukanlah dia.
Entah bermenit-menit kami bicara, dia mulai menurunkan suaranya. Menjadi seperti biasa yang aku kenal, tapi nadanya tetap seperti orang asing yang baru kutemui hari ini. Jadi beginikah dia ketika marah? Berubah menjadi seorang yang tidak aku kenal sama sekali. Berubah menjadi monster yang siap-siap menerkam kalau-kalau aku salah mengambil langkah untuk menyelamatkan diri sekali lagi.
Aku salah, ya aku tahu. Aku bodoh, ya, aku juga tahu. Aku idiot, aku sangat tahu. Kata-kata itu meluncur begitu saja, seperti terasa licin ketika terucap dari bibirnya. Sayangku, seperti itukah aku pada kenyataannya? Selalu membuat kesalahan, tanpa pernah sekali menjadi orang pertama yang menghubungimu untuk menyelesaikannya. Seharusnya, jika kau memahamiku, kau juga mengerti, kan, bagaimana sifatku?
Dan untuk kesekian kalinya, maafkan aku.
Lalu, sayang, aku ingin bertanya padamu suatu hal?
Sayang, bagaimanakah rasa cinta itu dihatimu kini? Bisakah kau menjelaskannya?
Sayang, kalau-kalau aku selalu membuatmu lelah, apa salah jika aku meminta kau melepaskanku?
Karena sepertinya, konsep cinta abadi yang pernah kita buat, telah terkikis oleh bengisnya jarak. Perlahan mulai menggerogoti cinta kita yang masih rapuh ini. Aku takut, takut sekali, kalau-kalau rapuh berubah menjadi tidak berdaya. Lalu bagaimanakah kita jika cinta itu sudah tidak berdaya?
Berpisah? Menjalani hidup masing-masing? Mewujudkan impian-impian masa depan kita sendiri-sendiri?
Aku sakit, sayang. Tahukah kau tentang hal itu?
Mungkin kau juga, tapi siapa yang tahu seseorang yang akan datang menjadi penyembuh hatimu. Membayangkan ini saja membuat perutku mual, kau bersama orang lain.
Lalu, sayang, bagaimana ceritanya hubungan ini? Hubungan kita?
Masihkah kau inginkan dia untuk bertahan, kala jarak perlahan-lahan membuatnya pudar. Kala waktu perlahan-lahan membuatnya tidak tersisa. Dan kala ketidakpercayaan mulai membuatnya hilang. Masihkah kau menginginkannya, hm?
Maka dari itu, kukirimi kau sebuah Edelweis, sebagai bunga keabadian yang kuharapkan dapat menjadi penjaga hatimu agar selalu tetap untukku. Juga, sebagai bunga keabadian kita, yang semoga dapat bertahan hingga tua, hingga kedamaian menjemput kita. Aamiin.
Seperti tulusnya keabadian Edelweis. Seperti susahnya meraih Edelweis. Seperti gumpalan bunganya yang terikat rapi menjadi satu. Seperti itu aku mencintaimu...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar