Jumat, 14 November 2014

Hujan?


Kemarin hujan. Hari ini hujan. Dan, barangkali, esok juga akan hujan.
Tetapi.. Hujan hari ini terasa sendu. Terasa pilu.
Aromanya tidak lagi menyenangkan. Rintik-rintiknya seolah menguar beban-beban kesedihan.
Suara air yang terbentur oleh bumi terasa menyayat hati. Percikan-percikannya serupa dengan hancur yang jatuh dan lari.
Jadilah hari ini adalah hujan yang tak semenarik hari kemarin. 
Karena, terlalu banyak pedih tanpa luka. Kurasa, inilah akhirnya.

Jumat, 05 September 2014

Aku bahagia, ketika aku memikirkan tentang orang-orang yang aku cintai. Karena aku percaya, setiap orang yang aku cintai memiliki satu puzzle kebahagian, untuk diberikan padaku. Kalau semua orang sudah memberikannya, maka akan kurangkai sebuah kebahagiaan utuh dalam hidupku.
Tapi bagaimana kalau apa yang kau percayai ternyata salah besar? Orang-orang yang kau cintai justru yang membuat kebahagiaanmu hancur berkeping-keping?
Perekat apa yang bisa membuat apa yang kau percayai utuh kembali?
Seperti yang sering aku dengar; Sesuatu yang telah hancur, diperbaiki sebaik apapun, hasilnya tidak akan pernah seperti awalnya.
Satu per satu, orang-orang yang aku cintai, memupus harapanku untuk tetap bertahan hidup. Mereka mengusik semua apa yang tidak pernah ingin aku tunjukkan. Keinginanku untuk menghabiskan hidup dengan warna kini kembali hitam dan abu-abu. Tidak akan pernah ada warna. Tidak akan pernah ada senyum dan tawa. Karena, semuanya tidak akan pernah sama.

Rabu, 03 September 2014

03092014

Under the same sky at different places
I am leavin' you
It's cowardly but I am hiding because I am not good enough
Cruel break up is like the end of the road of love
No words can comfort me
Now, it's time to final curtain for coming down

I feel like my heart has stopped beating
You and I, frozen there, after a war
Trauma that have been carved in my head
I can't stand for something more complicated
It's not a big deal, I don't care

I was born and I met you
And I have loved you to death
My cold heart that has been dyed blue
Even if you have left, I'm still here...


Is it really we're break up? Or.. Are we already broke up?
Aku tidak tahu, tapi... perbedaan kita dalam berpikir membuat semuanya kacau. Kau selalu menganggap remeh suatu hal yang menurutku sangat penting. Kau tidak tahu betapa berharganya semua itu bagiku? Hal-hal yang belum pernah aku cecap dan rasakan selama masa mudaku, dengan mudahnya ingin kau renggut. Begitu saja kau ucapkan, seperti kau tidak bisa membaca awan mendung dihatiku.
Bisakah kau memikirkan bahwa.. Cinta tidak selamanya harus berdampingan, antara aku dan kau, ataupun tentang yang lainnya. Cinta adalah tentang bagaimana kau meyakinkan hatimu bahwa suatu saat, di waktu yang tepat kita akan bertemu tanpa penghalang sedikitpun. Tidak memaksa ataupun mengharuskannya. Tapi, sekarang, seenak perutmu kau mengeluarkan kata-kata yang membuat harapanku pupus. Aku memang bisa tertawa, aku memang bisa tersenyum, tapi kau lihat hatiku? Sebentar lagi awan mendung itu akan berubah menjadi butir-butir hujan yang turun sangat deras.
Ini bukan pertama kalinya. Dan aku lelah, benar-benar lelah. Jadi, bisakah aku meminta tolong untuk kau tidak mengomentari semua hal yang sudah aku niatkan? Tidak juga mengomentari caraku mencintai idolaku? Tidak juga mengomentari apa yang aku lakukan, selama itu masih aku anggap baik?

Hei, dengar. Apabila kau tidak bisa terima ini, silahkan ambil sisa hatiku, lalu bawa dia pergi jauh. Aku tidak butuh seseorang yang hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri. Let's break up, let's us walk in every path of each.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Blue.

Dulu, aku pernah berpikir, hanya orang-orang bodoh yang rela meninggalkan pasangannya demi suatu hal yang dia anggap sebagai kebaikan. Pada faktanya, tidak akan ada kebahagiaan ketika berpisah dengan orang yang kita cintai. Mau sebaik dan seburuk apapun cara perpisahan itu, tidak akan pernah merubah bahwa nantinya akan ada rindu yang menyiksa.
Lucunya, saat ini aku menjadi salah satu orang bodoh itu. Aku selalu berpikir, aku ingin memberikan pasanganku hal terbaik yang aku miliki. Tapi untuk memberikannya, aku memiliki resiko kehilangan dia. Tidak, mungkin lebih tepatnya, aku harus merelakannya.
Dia pernah berbicara padaku, bahwa aku belum bisa menjadi apa yang dia inginkan. Aku terlalu egois, hanya ingin dimengerti tanpa pernah mengerti apa yang dia inginkan.
Dia juga pernah mengatakan, sebuah hubungan tidak bisa disebut hubungan apabila hanya ada senang-senang didalamnya. Aku tahu, ada sebuah makna yang terselip dalam setiap baitnya. Aku selalu membuatnya berpikir hal-hal buruk menyangkut diriku, membuatnya marah-marah, mungkin juga aku pernah membuatnya menangis. Jadi, sebuah hubungan menurut dia adalah tidak hanya tentang bersenang-senang, melainkan berbagi semua rasa masing-masing.
Lelah. Selalu kata itu yang keluar dari bibirku, ketika dia mulai berkomentar tentang aturan-aturannya yang tidak bisa aku terima.
Aku ingin diatur, tapi aku tidak butuh aturan-aturan yang membuatku menjadi gila hanya gara-gara memikirkannya.
Aku juga ingin diperhatikan, hanya saja aku tidak butuh yang berlebihan. Hanya membuat aku seperti berada didalam penjara.
Oleh karena itu, aku berpikir bahwa berpisah adalah pilihan terbaik yang pernah aku ambil, demi kebaikannya. Agar dia tidak lagi merasa aku melupakannya, agar dia tidak juga merasa lelah dalam hubungan kami, dan agar dia bisa mendapatkan gadis yang dia inginkan, yang bukan seperti aku.
Jangan pernah bertanya, apa aku menyesal. Karena jawabannya, aku pasti akan sangat menyesal, hingga mungkin aku akan mengutuki diriku sendiri.
Jangan pernah menyuruhku untuk melupakanmu. Karena melupakanmu sama saja seperti menghilangkan separuh jiwaku.
Jangan berpikir yang tidak-tidak lagi, aku selalu menyayangimu. Baik-baik disana.

Sabtu, 05 Juli 2014

D'Canelle

Karena yang sejati yang pantas kau sebut sebagai pemenang. Dia mampu bertahan saat kau telah memiliki dan dimiliki. Namun yang sejati tidak pernah sia-sia, di waktu yang tepat, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya semesta gariskan pada hidupnya. Seperti cinta.





        “Sial!” umpat Masha dalam hati ketika dia sampai di halte beberapa menit setelah bis terakhir berangkat. Telat bukan sial yang dia maksud sebenarnya, akan tetapi karena itu adalah bis terakhir yang akan mengarah pada kampusnya. Gadis itu membuka ritsleting tas selempang kesayangannya yang sedikit lusuh lalu memperhatikan baik-baik benda kecil berbentuk segiempat dan berwarna oranye cerah itu dengan prihatin. Dompetnya. Kalau naik taksi, maka uang makan selama seminggu kedepan akan berkurang, akan tetapi berjalan kaki sejauh lima kilometer juga bukan pilihan yang tepat. Tapi, pagi ini dia ada kelas Mr. Aldo, tidak mungkin dia membolos, karena kalau itu sampai terjadi dia akan terancam tidak mengikuti ujian bulan depan. Dan untuk pertama kalinya, dia meminta kepada Tuhan untuk dikirimkan seorang malaikat penolong yang baik hati, yang mau mengantarkannya ke kampus dengan mobil mewah. Ah, motor juga tidak apa, asalkan dia berhasil sampai ke kampus tanpa mengeluarkan uang dan energi sedikitpun.
            Bermaksud menunggu, dia membuka tasnya sekali lagi, mengambil Ipod kesayangannya, memasang earphone di kedua telinga lalu kemudian menyetel salah satu playlist yang ada disana. Judul playlist itu, Falling to Breaking. Lagu-lagu yang ada didalam playlist itu pun bukan nada-nada yang sudah biasa menemani hari-harinya selama belasan tahun. Nada yang ada didalam playlist itu cenderung melow dan menggambarkan kisah-kisah tentang jatuh cinta serta patah hati. Ah, ya, dia memang sedang jatuh cinta lalu patah hati sebelum berusaha untuk memiliki.
            I Melt With You milik Nouvelle Vague mengalun indah, membuatnya mau tidak mau ikut terbawa dalam alunan nada-nada Bossa Nova khas salah satu band Prancis itu. Banyak yang terpikir olehnya ketika mendengar lagu itu, bagaimana awalnya mereka bertemu, lalu dia jatuh cinta dan kemudian membuatnya tetap bertahan untuk mencintai ketika pria itu sudah dimiliki. Lagu jatuh cinta tidak semuanya bernada riang, bukan? Ada kalanya, lagu jatuh cinta justru menggambarkan perasaan yang dipendam sendiri, tidak berani mengungkapkan dan berakhir pada kehilangan.
            Tepukan di bahunya membuat gadis itu berlonjak kaget. Dengan refleks dia menepis tangan itu, membuat pemiliknya mengaduh kesakitan. Dia sudah merasa menang saat mendengar lawannya berteriak ketika di waktu yang bersamaan dia juga menyadari bahwa pria itu bukan lawannya. “Kau?”
            “Hei, kau apa-apaan, sih? Ini aku, Ben.” Ucap pria itu terbata-bata karena tangannya yang masih dicengkram hebat oleh gadis itu. “Kenapa kau bengong begitu? Cepat lepaskan tanganku!” Ben sedikit membentak, membuat gadis itu cepat-cepat melepaskan cengkramannya.
            Gadis itu menelan ludah, berusaha membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba kering. “Sorry,” ucapnya lirih. Dia mengambil satu langkah mundur dan menatap pria itu lekat. “Masa begitu saja sakit, kau kan laki-laki. Laki-laki seharusnya tangguh, tidak akan mengaduh hanya karena tangannya dicengkram oleh perempuan.” Melawan rasa malunya, dengan sedikit angkuh dia mencoba mengucapkan sebaris kalimat menyakitkan itu kepada Ben, berusaha agar pria itu tidak balik membalas. Dan untuk yang sebenarnya, berusaha menutupi rasa gugup yang menjalar tiba-tiba.
            “Kalau begitu, bawa kesini tanganmu. Akan kulakukan apa yang persis kau lakukan terhadapku. Jangan menangis kalau ternyata cengkraman ku lebih kuat dari apa yang kau pikirkan. Oke?” Ben mengucapkan kalimat tadi tanpa menarik nafas, dia baru menarik nafas saat melihat gadis itu membulatkan matanya tidak percaya. “Kenapa? Takut, ya?” lanjutnya sambil tersenyum geli.
            “Tidak, aku tidak takut sama sekali. Hanya saja, aku tidak rela kalau kau menggenggam tanganku seperti itu. Dan, tidak ada satu pun laki-laki yang kuizinkan selain pacarku nanti, kau tahu?”
            Pria itu tertawa keras, membuat wajahnya yang putih berubah menjadi seperti udang rebus. “Biar kutebak, kau pasti belum pernah pacaran. Iya, kan?” tanyanya geli.
            “Enak saja—“
            “Jangan mengelak, kau tidak pandai berbohong. Coba pikirkan kata-katamu tadi, kau bilang tidak ada laki-laki satu pun yang boleh menggenggam tanganmu kecuali pacarmu nanti. Itu mengindikasikan bahwa kau masih menunggu pria-pria yang bersedia dan mau menjadi pacarmu.” Ucapnya masih sambil tertawa. Melihat gadis itu memanyunkan bibirnya, dia melanjutkan, “ah, lagipula mana ada pria yang mau denganmu, kelakuan sudah seperti laki-laki. Perempuan itu dimana-mana seperti Raline, cantik dan anggun. Lalu kau? Kau tidak pantas disebut perempuan. Seperti tadi, baru dikagetkan saja sudah bisa berubah menjadi preman.”
            Masha sudah akan melayangkan tangannya keatas, saat tangan pria itu dengan sigap menangkapnya. “Lepaskan, kau tidak pantas memegang tanganku,” ucap gadis itu setengah emosi. Siapapun tidak pantas menilainya seperti itu. “Lagipula, kau siapa berhak menilaiku seperti itu, eh? Terserah aku ingin berpenampilan seperti apa, aku ya aku, dan aku bangga menjadi diriku sendiri.” Tegasnya, membuat pria itu melonggarkan genggamannya. Masha kemudian memanfaatkan situasi itu untuk menarik lepas pergelangan tangannya, menimbulkan sedikit kemerahan disana.
            Ben memperhatikan raut wajah gadis itu. Apakah dia sudah keterlaluan? Ah, sepertinya tidak. Mana mungkin gadis sangar bagai singa betina itu marah. Toh apa yang dia katakan benar. Bukan berarti dia ingin mengata-ngatai gadis itu atau apapun yang gadis itu pikirkan didalam otak dangkalnya, dia justru ingin membuat gadis itu sadar, seperti apa seorang wanita seharusnya berpenampilan. Apalagi di usia mereka yang sebentar lagi akan memasuki dunia kerja, tidak mungkin kan seorang lulusan Hubungan Internasional berpenampilan seperti preman pasar macam gadis itu? Dia melirik gadis itu yang menutup mata sambil menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya singa betina benar-benar akan mengamuk.
            “Hei, singa betina, mau kemana kau?” Tanya pria itu ketika melihat gadis itu membalikkan tubuhnya, berjalan perlahan meninggalkannya. Bahkan tanpa mengucapkan apapun setelah kejadian tadi.
            Masha sudah akan pergi saat mendengar seruan tidak mengenakan dibelakangnya. Untuk apa sih pria itu masih memperdulikan dia mau pergi atau tidak. Tidak ada gunanya juga berlama-lama disitu, membuat mood paginya hancur berantakan bahkan mungkin sudah berkeping-keping. Dia tidak mengacuhkan seruan-seruan pria itu dan lanjut berjalan menuju kedai kopi—bermaksud untuk menunggu disana saja, tidak sudi bersama pria itu—yang berada tidak jauh dari halte bis ketika sebuah kaleng mendarat indah diatas kepalanya. “Aduh!” teriaknya sambil mengusap kepalanya yang sedikit nyeri. Dia menoleh dan mendapatkan pria itu membungkukkan badannya dan tertawa. “Ben sialan!” umpatnya pelan lalu mengambil kaleng tadi, berusaha balik melempar kearah pria itu. Bukannya kena sasaran, kaleng itu malah mengenai seorang anak jalanan yang berpenampilan seperti anak metal. Dengan pakaian serba hitam dan tindikan dimana-mana. Mendegar teriakan geram dari anak jalanan yang terkena lemparan kaleng tadi, tubuhnya serasa gemetar. Mati kau, Masha, pikirnya dalam hati. Dia sudah akan berlari kencang, ketika sebuah tangan menggenggam erat tangannya. Menariknya menuju sebuah mobil yang terparkir dipinggir jalan. Dan beberapa detik kemudian sudah melaju kencang dijalan raya bersama kendaraan-kendaraan lainnya.
            Masha masih menutup matanya, berusaha menetralkan detak jantungnya yang seperti melompat ingin keluar. Tuhan, apakah ini malaikat penolong yang tadi dia minta? Setidaknya, dia sudah diselamatkan dari satu masalah pagi ini, maka izinkan dia mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, ternyata Tuhan masih sayang padanya. Dia membuka mata ketika mendengar lagu yang sangat familiar ditelinganya. Lagu kesukaan pria itu. Oh, astaga, apakah pria itu tiba-tiba datang untuk menyelamatkannya? Tapi, aroma pria itu sama sekali bukan seperti apa yang dia hirup sekarang. Aroma kayu manis, dam pria itu sama sekali tida beraroma kayu manis. Dia sudah sangat hafal aroma pria itu. Jadi, siapakah malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan pagi ini untuknya?
            Dia menoleh pelan-pelan, berusaha memperhatikan jelas siapa pria yang duduk disampingnya. Kacamata hitam, suara siulan yang mengikuti alunan lagu serta tangan kiri yang diketuk-ketukan di dashboard mobil. Untuk pertama kalinya, jantungnya berdetak untuk pria lain. Untuk pertama kalinya, dia terpesona dengan pria yang memakai kacamata hitam. Dan untuk pertama kalinya, dia melihat pria itu dari sisi yang berbeda.
            Tetapi, kenapa harus dia, Tuhan?
            


PS : Dear, sahabat-sahabatku, maaf kalau cerita jauh dari apa yang aku ceritakan kepada kalian. Sejujurnya, aku terpaksa membuat ulang cerita ini karena file semalam yang entah aku letakkan dimana atau tidak sengaja, aku lupa menyimpannya. Oh, iya, karena jumlah halaman yang melampaui batas posting, maka cerita ini aku bagi menjadi beberapa bagian. Oke, selamat membaca, semoga kalian menyukainya ^ ^

Kamis, 03 Juli 2014

KEKAL

Hello, seperti biasa, mampir ke blog ini cuma buat buang unek-unek yang nyempil di dada. Biasanya, sih, eksis di blog satunya. Ada yang tau nggak? Well, blog itu mengatas-namakan, nama pena saya di dunia maya. Jadi, para readers, saya di blog ini dan blog satunya, berbeda. Hohoho. Yang udah pada tau, can you just 'sssttt'? :p
Oh, iya, pas nulis ini pas banget sama suasana galau karena naskah kembali ditolak. Bisakah kalian membayangkan, setelah editor pribadi yang paling saya cintai mencaci maki tulisan saya, setelah saya merombak naskah saya menjadi lebih baru, dan setelah saya mengirimkan ke dua penerbit, naskah itu ditolak. Pun secara langsung dan email. Hiks hiks hiks. Tapi saya tidak putus asa, mungkin ini pelajaran karena masih banyak yang harus saya perbaiki untuk menjadi yang lebih baik lagi. Sadar kok, tulisan masih abal-abal. Dan menulis lagi adalah obat terbaik yang bisa saya lakukan saat ini.
Well, silahkan menikmati tulisan galau nan absurd saya. *siap-siap ember kalau pengen muntah*




Dia selalu bertanya, apa alasanku mencintainya? Satu yang harus kau tahu, mencintai tidak butuh alasan. Karena kalau cinta memiliki alasan, maka ketika cinta itu sudah berada pada titik luar logika dan alasan itu sudah tidak benar, apakah aku juga harus berhenti untuk mencintaimu?

Dia juga selalu bertanya, apakah aku melihat kelebihannya hingga aku memutuskan untuk mencintainya? Tidak. Aku tidak pernah mencintai untuk sebuah kelebihan. Karena kau tahu, apabila aku mencintai kelebihanmu, maka aku tidak berusaha untuk menerima kekuranganmu. Apakah seperti itu cinta? Mengambil kelebihan dan meninggalkan kekurangan? Sayang, aku tidak mengukur rasa cinta dengan kelebihan maupun kekuranganmu, karena seharusnya cinta itu melengkapi.

Aku bukan gadis yang pintar mengekspresikan kata-katanya melalui suara, aku hanyalah yang pandai dalam melukisnya dalam tulisan. Jika kau bertanya bagaimana cara aku mencintaimu, tidak cukupkah memoar-memoar yang kutuliskan untukmu? Untuk mewakili semua perasaanku yang tidak bisa kuekspresikan secara langsung dihadapanmu. Tapi, kau tidak pernah mengerti itu. Kau selalu bilang bahwa kau butuh alasan, dan memaksaku untuk mengungkapkan. Kau juga selalu bilang bahwa aku tidak pernah memberimu pembuktian dengan ucapan-ucapan, seperti gadis-gadis kebanyakan. Lagi, tidak cukupkah kau menerimaku dengan sisi lain diriku? Aku tidak ingin seperti mereka, aku ingin diriku. Menulis adalah apa yang selalu membuatku mencintai kenangan. Bukan berbicara yang kadang hanya berisi bualan belaka.

Sayang, aku menulis bukan berarti aku tidak menginginkan kita berbicara. Aku memiliki alasan, bahwa setiap kata yang kutulis nantinya dapat kau ingat ketika memoar itu kau baca kembali.
Seperti aku mencintai setiap kenangan yang kutinggalkan dalam tulisan, seperti itu aku mencintaimu. Kekal.



Selasa, 24 Juni 2014

Sepotong Kisah Tentang Senja, Laut dan Pria Itu.

Senja sore itu sungguh tidak bisa diabaikan begitu saja. Gurat-gurat oranyenya mulai berbaur bersama langit yang mulai berubah biru pekat hampir gelap, tidak meninggalkan kesan perpisahan sama sekali. Malahan, oranyenya menimbulkan kesan hangat; seperti pelukan; pelukan seorang kekasih yang sudah lama tidak berjumpa. Gurat-gurat itu kemudian mulai tertelan bersama matahari yang masuk ke peraduan di ufuk barat sana, menyisakan sedikit garis jingga yang malu-malu. Dan hilang. Kini yang ada hanyalah binar-binar kecil yang berpendar menemani pekat, sungguh indah.
Gadis itu melirik arlojinya, hembusan angin malam begitu menggigit, padahal dia sudah memakai jaket tebal serta syal merah muda yang dia rajut sendiri. Tapi itu saja tidak cukup, angin sialan itu seperti menusuk tulang-tulangnya, membuatnya ngilu sehingga mau tidak mau dia harus meninggalkan latar kesukaannya. Sebuah kursi kayu panjang yang dicat putih pucat. Kursi itu langsung menghadap kelaut, memberikan visual biru tua bercampur aqua yang membentang tanpa batas, pun kontras dengan pasir putihnya yang lembut. Dan yang paling gadis itu sukai adalah ketika dia bisa menikmati sisa sorenya, duduk dikursi itu menghadap laut sambil melihat senja yang meninggalkan warna-warna indahnya lalu berubah temaram. Gadis itu merapikan jaketnya, memutuskan untuk pulang.
Bagian belakang rumahnya memang langsung mengarah kepada laut. Itu sebabnya dia mencintai laut. Ketika tidak ada seorang pun yang dapat diajaknya bercerita, maka dia berlari kepada laut. Dia juga mencintai suara ombak yang bersahutan bergantian ditemani siulan-siulan pelan yang berasal dari kerang, yang teronggok begitu saja dipinggir pantai. Dia berdiri pelan, rasanya seperti enggan untuk beranjak keluar dari duanianya yang damai bersama laut. Tapi dia harus, maka dia mulai berjalan menyusuri rumput-rumput liar yang tumbuh dipinggir jalan setapak yang akan mengantarkannya pulang.
Sebenarnya ada yang paling dia rindukan ketika duduk dikursi itu. Kenangan-kenangan yang tidak bisa dia buang begitu saja, dia lupakan begitu saja dan dia hilangkan begitu saja. Kenangan itu terlalu berharga, tentang seorang pria yang mencuri hatinya beberapa tahun lalu dan belum kembali untuk mengembalikannya lagi. Sehingga, sampai saat ini, dia merasa masih terkurung dalam penjara pria itu, tidak bisa bergerak bebas menemukan yang lain karena terhalang besi-besi dingin yang kuat. Dialah Senja.

- to be continue -

- No Title -

Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa
Percayalah padaku, aku pun rindu kamu.. Ku akan pulang
Melepas semua kerinduan yang terpendam

Ah, aku sudah merindu lagi ya? Bagaimana tidak, kekasih yang jauh disana pun merindukanku sama gilanya. Padahal, setiap hari kami menyempatkan untuk bertukar kabar dan mengucapkan sapa, tetapi rindu itu seperti tidak ada habisnya. Dan malah semakin bertambah setiap hari tanpa bosan.
Sebenarnya apa yang diinginkan oleh rindu?
Membunuh aku dan dia perlahan dalam keheningan tanpa jeda? Atau menginginkan aku dan dia mengemis pada waktu untuk berhenti, untuk bertemu sekali dan tidak menginginkan perpisahan lagi kemudian.
Tanpanya, seperti ada yang hilang. Tanpanya, seperti ruhku berlari terlebih dahulu padanya untuk menyampaikan rasa rindu lalu meninggalkan ragaku tanpa kasihan.
Begitu teganya rindu, membiarkan aku dan dia terjerat pada rasa yang tak berujung pertemuan. Menyisakan airmata yang turun bersama melodi-melodi pilu menusuk kalbu.
Malam menjadi saksi bisunya, betapa rindu telah menghancurkanku menjadi berkeping-keping dan lenyap bersama mimpi tentangnya.