Karena
yang sejati yang pantas kau sebut sebagai pemenang. Dia mampu bertahan saat kau
telah memiliki dan dimiliki. Namun yang sejati tidak pernah sia-sia, di waktu
yang tepat, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya semesta gariskan pada
hidupnya. Seperti cinta.

“Sial!”
umpat Masha dalam hati ketika dia sampai di halte beberapa menit setelah bis
terakhir berangkat. Telat bukan sial yang dia maksud sebenarnya, akan tetapi
karena itu adalah bis terakhir yang akan mengarah pada kampusnya. Gadis itu
membuka ritsleting tas selempang kesayangannya yang sedikit lusuh lalu memperhatikan
baik-baik benda kecil berbentuk segiempat dan berwarna oranye cerah itu dengan
prihatin. Dompetnya. Kalau naik taksi, maka uang makan selama seminggu kedepan
akan berkurang, akan tetapi berjalan kaki sejauh lima kilometer juga bukan
pilihan yang tepat. Tapi, pagi ini dia ada kelas Mr. Aldo, tidak mungkin dia
membolos, karena kalau itu sampai terjadi dia akan terancam tidak mengikuti
ujian bulan depan. Dan untuk pertama kalinya, dia meminta kepada Tuhan untuk
dikirimkan seorang malaikat penolong yang baik hati, yang mau mengantarkannya
ke kampus dengan mobil mewah. Ah, motor juga tidak apa, asalkan dia berhasil
sampai ke kampus tanpa mengeluarkan uang dan energi sedikitpun.
Bermaksud menunggu, dia membuka
tasnya sekali lagi, mengambil Ipod kesayangannya, memasang earphone di kedua
telinga lalu kemudian menyetel salah satu playlist yang ada disana. Judul
playlist itu, Falling to Breaking.
Lagu-lagu yang ada didalam playlist itu pun bukan nada-nada yang sudah biasa menemani
hari-harinya selama belasan tahun. Nada yang ada didalam playlist itu cenderung
melow dan menggambarkan kisah-kisah tentang jatuh cinta serta patah hati. Ah,
ya, dia memang sedang jatuh cinta lalu patah hati sebelum berusaha untuk
memiliki.
I
Melt With You milik Nouvelle Vague
mengalun indah, membuatnya mau tidak mau ikut terbawa dalam alunan nada-nada
Bossa Nova khas salah satu band Prancis itu. Banyak yang terpikir olehnya
ketika mendengar lagu itu, bagaimana awalnya mereka bertemu, lalu dia jatuh cinta
dan kemudian membuatnya tetap bertahan untuk mencintai ketika pria itu sudah
dimiliki. Lagu jatuh cinta tidak semuanya bernada riang, bukan? Ada kalanya,
lagu jatuh cinta justru menggambarkan perasaan yang dipendam sendiri, tidak
berani mengungkapkan dan berakhir pada kehilangan.
Tepukan di bahunya membuat gadis itu
berlonjak kaget. Dengan refleks dia menepis tangan itu, membuat pemiliknya
mengaduh kesakitan. Dia sudah merasa menang saat mendengar lawannya berteriak
ketika di waktu yang bersamaan dia juga menyadari bahwa pria itu bukan
lawannya. “Kau?”
“Hei, kau apa-apaan, sih? Ini aku,
Ben.” Ucap pria itu terbata-bata karena tangannya yang masih dicengkram hebat
oleh gadis itu. “Kenapa kau bengong begitu? Cepat lepaskan tanganku!” Ben
sedikit membentak, membuat gadis itu cepat-cepat melepaskan cengkramannya.
Gadis itu menelan ludah, berusaha
membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba kering. “Sorry,” ucapnya lirih. Dia mengambil satu langkah mundur dan
menatap pria itu lekat. “Masa begitu saja sakit, kau kan laki-laki. Laki-laki
seharusnya tangguh, tidak akan mengaduh hanya karena tangannya dicengkram oleh
perempuan.” Melawan rasa malunya, dengan sedikit angkuh dia mencoba mengucapkan
sebaris kalimat menyakitkan itu kepada Ben, berusaha agar pria itu tidak balik membalas.
Dan untuk yang sebenarnya, berusaha menutupi rasa gugup yang menjalar
tiba-tiba.
“Kalau begitu, bawa kesini tanganmu.
Akan kulakukan apa yang persis kau lakukan terhadapku. Jangan menangis kalau
ternyata cengkraman ku lebih kuat dari apa yang kau pikirkan. Oke?” Ben
mengucapkan kalimat tadi tanpa menarik nafas, dia baru menarik nafas saat
melihat gadis itu membulatkan matanya tidak percaya. “Kenapa? Takut, ya?”
lanjutnya sambil tersenyum geli.
“Tidak, aku tidak takut sama sekali.
Hanya saja, aku tidak rela kalau kau menggenggam tanganku seperti itu. Dan,
tidak ada satu pun laki-laki yang kuizinkan selain pacarku nanti, kau tahu?”
Pria itu tertawa keras, membuat
wajahnya yang putih berubah menjadi seperti udang rebus. “Biar kutebak, kau
pasti belum pernah pacaran. Iya, kan?” tanyanya geli.
“Enak saja—“
“Jangan mengelak, kau tidak pandai
berbohong. Coba pikirkan kata-katamu tadi, kau bilang tidak ada laki-laki satu
pun yang boleh menggenggam tanganmu kecuali pacarmu nanti. Itu mengindikasikan
bahwa kau masih menunggu pria-pria yang bersedia dan mau menjadi pacarmu.” Ucapnya
masih sambil tertawa. Melihat gadis itu memanyunkan bibirnya, dia melanjutkan, “ah,
lagipula mana ada pria yang mau denganmu, kelakuan sudah seperti laki-laki.
Perempuan itu dimana-mana seperti Raline, cantik dan anggun. Lalu kau? Kau
tidak pantas disebut perempuan. Seperti tadi, baru dikagetkan saja sudah bisa
berubah menjadi preman.”
Masha sudah akan melayangkan
tangannya keatas, saat tangan pria itu dengan sigap menangkapnya. “Lepaskan,
kau tidak pantas memegang tanganku,” ucap gadis itu setengah emosi. Siapapun
tidak pantas menilainya seperti itu. “Lagipula, kau siapa berhak menilaiku
seperti itu, eh? Terserah aku ingin berpenampilan seperti apa, aku ya aku, dan
aku bangga menjadi diriku sendiri.” Tegasnya, membuat pria itu melonggarkan
genggamannya. Masha kemudian memanfaatkan situasi itu untuk menarik lepas
pergelangan tangannya, menimbulkan sedikit kemerahan disana.
Ben memperhatikan raut wajah gadis
itu. Apakah dia sudah keterlaluan? Ah, sepertinya tidak. Mana mungkin gadis
sangar bagai singa betina itu marah. Toh apa yang dia katakan benar. Bukan
berarti dia ingin mengata-ngatai gadis itu atau apapun yang gadis itu pikirkan
didalam otak dangkalnya, dia justru ingin membuat gadis itu sadar, seperti apa
seorang wanita seharusnya berpenampilan. Apalagi di usia mereka yang sebentar
lagi akan memasuki dunia kerja, tidak mungkin kan seorang lulusan Hubungan
Internasional berpenampilan seperti preman pasar macam gadis itu? Dia melirik
gadis itu yang menutup mata sambil menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya singa betina
benar-benar akan mengamuk.
“Hei, singa betina, mau kemana kau?”
Tanya pria itu ketika melihat gadis itu membalikkan tubuhnya, berjalan perlahan
meninggalkannya. Bahkan tanpa mengucapkan apapun setelah kejadian tadi.
Masha sudah akan pergi saat
mendengar seruan tidak mengenakan dibelakangnya. Untuk apa sih pria itu masih
memperdulikan dia mau pergi atau tidak. Tidak ada gunanya juga berlama-lama
disitu, membuat mood paginya hancur
berantakan bahkan mungkin sudah berkeping-keping. Dia tidak mengacuhkan
seruan-seruan pria itu dan lanjut berjalan menuju kedai kopi—bermaksud untuk
menunggu disana saja, tidak sudi bersama pria itu—yang berada tidak jauh dari
halte bis ketika sebuah kaleng mendarat indah diatas kepalanya. “Aduh!”
teriaknya sambil mengusap kepalanya yang sedikit nyeri. Dia menoleh dan
mendapatkan pria itu membungkukkan badannya dan tertawa. “Ben sialan!” umpatnya
pelan lalu mengambil kaleng tadi, berusaha balik melempar kearah pria itu.
Bukannya kena sasaran, kaleng itu malah mengenai seorang anak jalanan yang
berpenampilan seperti anak metal. Dengan pakaian serba hitam dan tindikan
dimana-mana. Mendegar teriakan geram dari anak jalanan yang terkena lemparan
kaleng tadi, tubuhnya serasa gemetar. Mati
kau, Masha, pikirnya dalam hati. Dia sudah akan berlari kencang, ketika
sebuah tangan menggenggam erat tangannya. Menariknya menuju sebuah mobil yang
terparkir dipinggir jalan. Dan beberapa detik kemudian sudah melaju kencang
dijalan raya bersama kendaraan-kendaraan lainnya.
Masha masih menutup matanya,
berusaha menetralkan detak jantungnya yang seperti melompat ingin keluar.
Tuhan, apakah ini malaikat penolong yang tadi dia minta? Setidaknya, dia sudah diselamatkan
dari satu masalah pagi ini, maka izinkan dia mengucapkan terima kasih kepada
Tuhan, ternyata Tuhan masih sayang padanya. Dia membuka mata ketika mendengar
lagu yang sangat familiar ditelinganya. Lagu kesukaan pria itu. Oh, astaga,
apakah pria itu tiba-tiba datang untuk menyelamatkannya? Tapi, aroma pria itu
sama sekali bukan seperti apa yang dia hirup sekarang. Aroma kayu manis, dam
pria itu sama sekali tida beraroma kayu manis. Dia sudah sangat hafal aroma
pria itu. Jadi, siapakah malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan pagi ini
untuknya?
Dia menoleh pelan-pelan, berusaha
memperhatikan jelas siapa pria yang duduk disampingnya. Kacamata hitam, suara
siulan yang mengikuti alunan lagu serta tangan kiri yang diketuk-ketukan di
dashboard mobil. Untuk pertama kalinya, jantungnya berdetak untuk pria lain.
Untuk pertama kalinya, dia terpesona dengan pria yang memakai kacamata hitam.
Dan untuk pertama kalinya, dia melihat pria itu dari sisi yang berbeda.
Tetapi, kenapa harus dia, Tuhan?
PS : Dear, sahabat-sahabatku, maaf kalau cerita jauh dari apa yang aku ceritakan kepada kalian. Sejujurnya, aku terpaksa membuat ulang cerita ini karena file semalam yang entah aku letakkan dimana atau tidak sengaja, aku lupa menyimpannya. Oh, iya, karena jumlah halaman yang melampaui batas posting, maka cerita ini aku bagi menjadi beberapa bagian. Oke, selamat membaca, semoga kalian menyukainya ^ ^